Kamis, 14 Februari 2013

pelayanan



STANDAR PELAYANAN PUBLIK DI DAERAH1
oleh: Yogi S2 & M. Ikhsan3
I. Pelayanan Publik
a. Pengertian
Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik (public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan mendasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara)4. Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
1 Tulisan ini dimuat dalam salah satu Bab pada Handbook Manajemen Pemerintahan Daerah. terbitan PKKOD-LAN, 2006.
2 Dosen Tetap STIA-LAN untuk mata kuliah Difusi Inovasi dalam Pemerintahan, dan Peneliti pada Pusat Kajian Administrasi Internasional
3 Dosen STIA-LAN untuk mata kuliah Keuangan Daerah dan Manajemen BUMN & BUMD
4 Lihat lebih detail di Nurcholis (2005) hal. 175.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”.
Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik
Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service provider (Barata, 2003: 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan da penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.
Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan5, yaitu:
(a) pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang, penjualan dan pengadministrasiannya. dan
(b)   pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.
Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:
a.      keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan kepercayaannya;
b.     Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi.
5 Lihat lebih detail di Barata (2003). hal 11-13

Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah:
a.       Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.
b.      Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional. Contonya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.
c.       Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
d.      Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan.
e.       Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan. Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.
f.       Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.
b. Ruang Lingkup
Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun

demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya.
Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.
Tabel 1
Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa
Barang
Jasa
Sesuatu yang berwujud
Sesuatu yang tidak berwujud
Satu jenis barang dapat berlaku untuk banyak orang (homogen)
Satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sesuai/sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen)
Proses     produksi    dan               distribusinya
terpisah dengan proses konsumsi
Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung bersamaan pada saat dikonsumsi
Berupa barang/benda
Berupa proses/kegiatan
Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan
Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli.
Pembei pada umumnya tidak terlibat dalam proses produksi
Pembeli terlibat dalam proses produksi
Dapat disimpan sebagai persediaan
Tidak dapat disimpan
Dapat terjadi perpindahan kepemilikan
Tidak ada perpindahan kepemilikan
Sumber: Gronroos (1990)
Lebih lanjut Savas6 (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan dapat memenuhi persyaratan­persyaratan yang ditentukan penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.
6 LAN. (2003). hal 10

Tabel 2
Pengelompokan Barang dan Jasa
berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption
Exclusion
Consumption
Konsumsi Individual
Konsumsi Kolektif
Mudah mencegah orang lain untuk ikut menikmati
Barang privat
Barang semi
publik
Sulit mencegah orang lain untuk ikut menikmati
Barang semi
privat
Barang publik
Sumber : Savas, (1987)
a.    Barang privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian. Contoh: makanan, pakaian.
b.    Barang semi privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan.
c.    Barang semi publik
Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang
d.    Barang publik
Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna)

pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman
Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a.       Pendidikan.
b.      Kesehatan.
c.       Keagamaan.
d.      Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e.       Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f.       Sosial.
g.       Perumahan.
h.      Pemakaman/krematorium.
i.        Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j.      Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.      Pelayanan administratif
2.    Pelayanan barang
3. Pelayanan jasa
Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai berikut:
1.    Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
2.    Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas.

3.  Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.
4.  Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana ang murni dikerjakan oleh pemerintah.
c. Paradigma Pelayanan
Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah. Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996: 13) menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu:
1.    Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfuingsional tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
2.      Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam

kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya tiak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.
3.      Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.
4.         Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.
5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.
Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh. Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan.
Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN. Banyak negara yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand, dan menyebar ke seluruh dunia.
Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik

haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5 strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu:
1.         Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan
2.         Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja
3.         Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu
4.      Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat 5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha
Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan adalah pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang “melayani”. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan dengan misi pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.
Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co­production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co-production mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik7. Sehingga di sini kita tidak lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai bagian dari pemberi layanan.
Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor publik, yaitu consumer produser, regular producer dan co-production. Menurut Parks8 consumer producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain, regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada
7 Marschall. (2004). hal.232
8 Kiser. 1980. hal.2.

proses produksi untuk barang dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang dan jasa.
Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002: 15) menjelaskan bahwa partisipasi publik—terutama dalam proses pengambilan keputusan—adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga. Sedangkan menurut Marschall (2004: 231), tujuan dari partisipasi publik adalah pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.
Heller dalam Rich (1995: 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi, yaitu partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih tujuan dan metoda mereka sendiri, dan partisipasi mandat pemerintah (government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan (kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga.
Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983: 14-15) membedakan partisipasi ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi parlemen. Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasihat, aktivitas dengar pendapat, keterlibatan di kelompok­kelompok kepentingan dan partisipasi dalam lembaga pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan pemberian pelayanan umum.
Oleh karenanya penyelenggaraan pelayanan umum haruslah mendapat dukungan partisipasi dari masyarakat. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum.

Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai penyedia layanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan publik (co-produser).
Gambar 1
Partisipasi dalam Pelayanan Publik
Text Box:  Text Box: GovernmentText Box: co-producerText Box: ServiceText Box: ParticipationText Box: CitizenrySumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5).
Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum, sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996: 86) menjelaskan bahwa “coproduction as the process through which inputs used to produce a good or service are contributed by individuals who are not “in” the same organization“ , yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan—yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah—adalah termasuk kegiatan ko­produksi dalam pelayanan umum.
Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983: 41) telah meneliti bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.

Pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam proses pemberian pelayanan publik.
Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.
d. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya tinggi. Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik.
Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan pelanggan.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:
1.      Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap karakteristik produknya.
2.      User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.

Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan, persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan.
Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi pada gambar berikut ini:
Gambar 2
Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan









Text Box:   Tangibles














Sumber: Delivering Quality Service, Zeithaml, et. al., (1990), hal.131
Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation).
Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya

interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini.
2.    Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.
3.    Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).
Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama internal.
4.    Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan (Service Delivery).
Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam organisasi.
5.    Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan a kesenjangan sebelumnya, kesenjagan kelima ini menitikberatkan pada sisi pelanggan.

II. Standar Pelayanan Publik
a. Prinsip-prinsip Dasar
Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas, diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut
Identify customer who are, or should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post service standards and measure result against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints.
Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk menentukan jenis dan kualitas pelayanan yang mereka inginkan dan untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan, termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik, menyediakan berbagai pilihan sumber­sumber pelayanan kepada pelanggan dan sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.
Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme, yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a.         Menentukan standar pelayanan;
b.         Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;
c.         Berkonsultasi dan terlibat;
d.         Mendorong akses dan pilihan;
e.         Memperlakukan semua secara adil;
f.          Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;

h.      Inovatif dan memperbaiki; dan
i.        Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan. Upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:
1.      Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,
2.      Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
3.      Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
4.      Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah­langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1 996;
5.    Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1 999; hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan.
6.      Kep. Menpan No 81/1 993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum
7.      Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002
8.      Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan publik.
Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yag dimaksud dengan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi

pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN, 2003) antara lain adalah:
1.    memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan, menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring dan evaluasi kinerja pelayanan.
2.    melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.
3. meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, pro sedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci dalam
upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan pelayanan yang
berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran-ukuran apa saja
yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria
pelayanan tersebut antara lain:

a.      Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.
b.      Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu.
c.       Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
d.      Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
e.       Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan.
f.        Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
g.      Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
h.      Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.
i.        Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
j.        Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini

sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan.
k.  Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri.
l.   Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.
m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya.
n.      Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar.
Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah mengikuti prinsip-prinsip antara lain:
1.      diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain
2.      ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah kabupaten/kota
3.      menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari pemerintah daerah
4.      bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah
5. berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat mengukur pencapaian SPM.
Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyusun sebuah standar pelayanan adalah sebagaimana yang tergambar dalam bagan berikut:

Gambar 3
Langkah Penyusunan Standar Pelayanan
Text Box:  Text Box: AnalisisText Box: IdentifikasiText Box: PerumusanText Box: • Jenis pelayanan
• Pelanggan
• Harapan pelanggan
Text Box: • Proses & Prosedur
• Sarana & Prasarana
• Waktu
• Biaya
Text Box: Mekanisme
Pengaduan/
keluhan
Text Box: Visi MisiSumber: diolah dari LAN (2003)
1. Identifikasi Jenis Pelayanan
Kegiatan identifikasi ini dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
·           Pelayanan-pelayanan apa yang diselenggarakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi, baik yang langsung diberikan kepada masyarakat, kepada instansi lainnya, maupun kepada unit lain secara internal dalam instansi?
·           Pelayanan apa yang sifatnya core (menjadi utama) dan sifatnya supporting (pendukung)?
·           Apa dasar hukum yang menjadi acuan?
2. Identifikasi Pelanggan
Kegiatan identifikasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
·           Siapa pelanggan atau pengguna pelayanan atau target pelayanan yang langsung merasakan hasil pelayanan?
·           Siapa pelanggan yang secara tidak langsung merasakan hasil pelayanan?
·           Dalam kaitan dengan pelayanan internal, siapa pelanggan internal yang dilayani?
·           Dalam kaitan dengan instansi lain, instansi mana yang menjadi pelanggan? Untuk memudahkan proses identifikasi tentang jenis pelayanan dan pelanggan dapat digunakan lembar kerja (worksheet) berikut ini:
3. Identifikasi Harapan Pelanggan
Kegiatannya adalah mengidentifikasi harapan pelanggan akan pelayanan yang

diberikan. Harapan pelanggan ini meliputi harapan terhadap kualitas, biaya dan waktu pelayanan.
Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.
4. Perumusan Visi dan Misi Pelayanan
a. Kegiatan merumuskan visi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
·         Membentuk beberapa kelompok sebagai perwakilan seluruh staf yang ada dalam unit penyedia pelayanan;
·         Pimpinan menjelaskan harapan-harapan yang ingin dicapai oleh organisasi melalui pelayanan yang diberikan;
·         Kelompok bekerja secara mandiri merumuskan visi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus melihat dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan internal dan eksternal, yang meliputi kekuatan dan kelemahan internal unit penyedia pelayanan, peluang dan tantangan, serta harapan-harapan masyarakat pelanggan;
·         Rumusan visi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi visi pelayanan yang disepakati semua kelompok.
b. Kegiatan merumuskan misi dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
·         Menggunakan kelompok yang sama ketika menyusun visi untuk menyusun misi pelayanan;
·         Memberi kepada kelompok tersebut untuk bekerja secara mandiri merumuskan misi pelayanan. Kegiatan merumuskan harus mencakup pelayanan yang akan diberikan dan ditawarkan kepada pelanggan internal dan eksternal;
·         Rumusan misi pelayanan dari beberapa kelompok dipresentasikan bersama dan dipilih atau dimodifikasi/dirumuskan kembali menjadi misi pelayanan yang disepakati semua kelompok.
5. Analisis Proses dan Prosedur, Prasyarat, Sarana dan Prasarana, Waktu, dan Biaya Pelayanan.

a. Analisis Proses dan Prosedur
Kegiatannya adalah mengidentifikasi keseluruhan aktivitas dalam pemberian pelayanan mulai saat pelanggan datang sampai pada pelanggan selesai menerima pelayanan.
Untuk menyusun proses dan prosedur pelayanan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
·         Identifikasi langkah-langkah aktivitas dalam memberikan satu jenis
pelayanan, mulai dari awal sampai dengan selesai pelayanan dilaksanakan.
·         Identifikasi dimulai dari aktivitas yang dilakukan oleh pelanggan ketika akan mengajukan suatu jenis pelayanan tertentu kepada unit penyedia pelayanan.
·         Identifikasi aktivitas proses pengolahan pelayanan dimulai dari ketika petugas menerima pelanggan yang akan mengajukan pelayanan, sampai dengan aktivitas penyampaian produk pelayanan setelah selesai diproses oleh pihak unit penyedia pelayanan.
·         Jika terdapat lebih dari satu jenis pelayanan yang dilaksanakan, maka lakukan identifikasi langkah-langkah aktivitas untuk semua jenis pelayanan tersebut. Makin sedikit aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam rangka pelayanan, makin pendek prosedur yang dilalui, makin cepat pelayanan akan diberikan;
·         Membuat alur proses setiap aktivitas tersebut secara sekuens. Alur proses ini nantinya akan merupakan alur yang harus dilalui oleh seorang pelanggan dan alur untuk proses pengolahan pelayanan.
b. Analisis Persyaratan Pelayanan
Kegiatannya mengidentifikasi persyaratan yang dibutuhkan pada setiap tahapan aktivitas dalam pemberian pelayanan.
Langkah mengidentifikasi persyaratan pelayanan sangat tergantung pada rumusan yang dihasilkan pada identifikasi proses dan prosedur. Hasil identifikasi diatas digunakan untuk menentukan persyaratan pada tiap-tiap aktivitas. Perlu dicermati bahwa persyaratan pelayanan tidak hanya berupa dokumen (surat-surat) tetapi termasuk pula persyaratan dalam bentuk barang maupun biaya.
c. Analisis Sarana dan Prasarana Pelayanan
Kegiatannya adalah mengidentifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan

dalam memberikan pelayanan.
Langkah mengidentifikasi sarana dan parasana dilakukan dengan melihat hasil analisis proses dan prosedur pelayanan diatas. Gunakan hasil identifikasi proses dan prosedur untuk dilanjutkan identifikasi sarana dan prasarana yang diperlukan pada tiap-tiap aktivitas pemberian pelayanan. Tidak setiap aktivitas memerlukan sarana yang sama tergantung pada jenis aktivitas yang dilakukan.
d. Analisis Waktu dan Biaya Pelayanan
Kegiatannya adalah menentukan waktu dan biaya pelayanan. Langkah menentukan waktu dan biaya pelayanan sangat tergantung pada hasil analisis proses dan prosedur yang harus dilakukan, hasil analisis sarana dan prasarana yang dimiliki oleh organisasi pelayanan serta hasil analisis harapan pelanggan. Hasil analisis digunakan sebelumnya untuk menentukan total waktu dan biaya pelayanan.
6. Mekanisme pengaduan/keluhan
Langkah dalam melakukan penyusunan mekanisme pengelolaan keluhan/pengaduan ini dapat ditempuh dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut:
·         Sarana apa yang disediakan untuk menampung keluhan pelanggan (kotak surat, telepon bebas pulsa, unit khusus pengaduan dll)?
·         Prosedur apa yang harus dilalui oleh pengaduan untuk mendapatkan respon terhadap pengaduannya? Berapa lama respon akan diterima pelanggan?
·         Siapa yang berwenang mengambil keputusan dalam menangani pengaduan?
b. Standar Pelayanan Publik di Daerah
Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,

akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti

pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.
Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga terkait untuk menyusun
SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya, SPM menganut beberpa prinsip, yakni:
1.    SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
2.    SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
3.    SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan urusan wajibnya.
4.    SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara merata.
5.    SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.
6.    SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah, pengawasan,
pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.
Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan), output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan). Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome, benefit dan impact.
SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur

(benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:
1.    Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
2.    SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3.    SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
4.    SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.
5.    SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah.
6.    SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah.
7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.
Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan perundang-undangan, yakni:
1.    UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2.    UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3.    PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom;
4.    PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan; 5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan Daerah;

6.    PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
7.    PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; dan
8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri, Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara, dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan.
Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus dilakukan.
Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di setiap Kecamatan sebagai standar pelayanan minimal di bidang kesehatan masih belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat (departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan

masing-masing departemen dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena pemerintah daerah menginterpretasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada, bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.
2.    Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.
3.    Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia 7-16 tahun.
4.    Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan mengelolola data secara sistematis.
5.    Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan perencanaan strategis.
6.    Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya yang terjadi di daerah/desa; dan
7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan evaluasi, hasil evaluasi bias untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal yang rendah.
Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain adalah:
1.    Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor kesehatan.
2.    BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi pupulasi.
3.    Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas pelayanan publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap tahun sekali.
4.    Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta auditor independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota di wilayahnya.
III. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi Daerah
Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah (sektor publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari besarnya dana yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal itu ternyata tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang maksimal. Bahkan sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi pemerintah dapat dinilai sangat buruk. Padahal masyarakat telah bersedia mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber dayanya untuk negara dengan membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retibusi dan sebagainya. Sudah sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan (satisfaction) yang maksimal atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa yang diperoleh masyarakat adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah. Salah satu keluhan masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu pelayanan dan tidak jelasnya pro sedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus sekarang? kalau bisa dip ersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan bahwa budaya pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi pada kepuasan masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja mengakibatkan pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan menjadi sangat buruk.

Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati masyarakat secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud mengambil keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan tugas instansi pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada publik atas apa yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Namun demikian tampaknya pemerintah belum sepenuhnya mampu menerapkan ketiga pilar utama tersebut dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian, seandainya negara sebagai penyedia layanan harus bersaing dengan swasta dengan produk pelayanan yang sama, dapat diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti negara akan bangkrut karena biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan berkurang drastis akibat ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan yang diberikan.
Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang melanda negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat multidimensional. Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan negara dalam aspek keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara tajam tanpa diimbangi dengan peningkatan keuangan daerah untuk membiayainya. Akibatnya pelayanan publik menjadi terbengkalai seperti rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran irigasi, pendidikan serta kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik yang meningkat dalam kondisi keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring dengan argumen Osborne dan Gabler yang menganjurkan pemerintah untuk lebih berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung (rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut
berpartisipasi dalam menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan masyarakat dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan penerapan otonomi daerah.
Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan pasca krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penerapan demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni berkurangnya secara signifikan patronasi dan kooptasi pusat terhadap daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, daerah memiliki diskresi yang sangat tinggi -- bahkan oleh berbagai pihak sering dikatakan “kebablasan” -- dalam berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi dalam aspek kewenangan atau urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan dan personil, serta diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah.
Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good governance” sebagai proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat menemukan bentuknya dalam menangani persoalan-persoalan publik yang tidak mungkin lagi ditangani oleh Pemda. Melalui mekanisme good governance kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering dan co-managing” dari ketiga stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan masyarakat. Ketiga aktor akan terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan Pengawasan dalam manajemen pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan terbentuk “sense of belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di lingkungannya.
Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk tujuan itu maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik (public service) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Oleh karenanya

diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk mengidentifikasi pelayanan­pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dearah yang bersangkutan.
Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama, masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan lingkungan, pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan pelayanan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency) yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan daerah menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pelayanan yang memungkinkan daerah mengembangkan sektor unggulan. Dan betapapun luasnya otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir pelayanan Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public regulation). Public good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi, pasar, terminal dsb. Sedangkan public regulation akan terwujud dalam bentuk mewajibkan penduduk untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP), Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan membuka usaha) dan bentuk-bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap pemda seharusnya memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana memberikannya, siapa yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan agenda pelayanan tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of corrupt and absolute power will corrupt absolutely”.
Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan, dimana banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya pada era desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini masih

berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam penyalahgunaan dana­dana public yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang menggembirakan, dimana terdapat kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah dalam mengoptimalkan dana APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik secara optimal bagi masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut menunjukkan bahwa terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah political will dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari indikator sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan masyarakatnya) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai bentuk pelayanan yang diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka kemiskinan, dan sebagainya secara berkesinambungan. Dalam kerangka inilah diperlukan political will dari Kepala Daerah untuk mengoptimalkan alokasi belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara berkesinambungan yang disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah (khususnya kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public yang berkualitas.
Kisah sedih mengenai pelayanan publik di era otonomi daerah kelihatannya memang menjadi suatu ironi. Hingga saat ini pelayanan publik yang berkualitas sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan kelihatannya masih jauh dari harapan. Jangankan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih murah dan lebih baik (faster, cheaper, and better), standar pelayanan publik yang ada saja seringkali tidak mampu dipertahankan keberadaannya. Sebaliknya, di bidang pelayanan publik, biaya ekstra atau pungutan liar merupakan gambaran sehari-hari yang umum terlihat pada kantor-kantor pelayanan masyarakat. Masyarakat dapat melihat dengan kasat mata dan merasakan praktik korupsi yang semakin marak dan meluas. Lihat saja pada saat masyarakat

mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), sertifikat tanah, dan sebagainya. Laporan dan pengaduan pun banyak mengalir dari masyarakat. Melalui survei yang dilakukan oleh Lembaga Studi Pembangunan Kebijakan dan Masyarakat pada tahun 1999/2000, ditemukan bahwa terdapat 4 (empat) sektor pelayanan publik yang memungut biaya tidak resmi yaitu sektor perumahan, industri dan perdagangan, kependudukan dan pertanahan. Dalam sektor-sektor tersebut, antara 5 6–70 persen pegawainya dituding menerima suap oleh para responden yang merupakan rekan kerjanya sendiri. Namun sayangnya berbagai praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pelayanan publik seringkali tidak ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi bagi oknum pelakunya.
Kinerja pelayanan umum oleh birokrasi pemerintah daerah selama era otonomi daerah yang masih banyak yang belum mengalami perubahan berarti juga dicatat oleh Amiruddin (2002). Pada penelitiannya di 9 (sembilan) kota di Indonesia, Amiruddin (2002) mencatat beberapa sektor layanan publik yang bermasalah menurut warga, diantaranya air minum yang belum layak untuk diminum, listrik masih sering padam, pemasangan telepon baru butuh waktu yang lama dan biaya besar, kontainer yang kurang sehingga sampah berserakan, pro sedur pembuatan KTP berbelit-belit dan biayanya mahal, angkutan kota yang tidak layak dan tarifnya yang tidak pasti, puskesmas yang belum optimal dan adanya diskriminasi di rumah sakit, biaya sekolah yang mahal namun guru masih kurang banyak dan kurang berkualitas, dan pedagang kaki lima yang menjamur dimana-mana. Kondisi rendahnya kinerja pelayanan pemda tersebut tentu saja disebabkan karena berbagai faktor, diantaranya karena cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas, banyaknya jenis pelayanan yang harus disediakan, terbatasnya dana bagi penyediaan pelayanan umum, kurangnya supervisi maupun ketiadaan pedoman dari pemerintah, serta beragamnya kondisi sosial ekonomi, budaya, pendidikan, dan sebagainya dari para pengguna pelayanan umum sendiri. Kondisi demikian kemudian menyebabkan munculnya persepsi yang berbeda dari pengguna layanan terhadap pelayanan yang diterimanya. YLKI (1999) sebelumnya telah mencatat beberapa hal yang menjadi kendala mengapa pelayanan umum yang baik sulit direalisasikan, yakni tidak adanya standar pelayanan, kondisi sosial budaya masyarakat, rendahnya kesadaran konsumen layanan, peraturan pemerintah, dan ketidaksiapan aparat pemerintah sebagai penyedia pelayanan umum menghadapi tuntutan masyarakat.

Dalam konteks itu, kata kunci dari upaya untuk mengatasi kegagalan menuju keberhasilan adalah inovasi dan atau perubahan. Hal ini sesuai dengan jargon, we have to change, if we don’t change we die. Pemerintah daerah mesti memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dan perubahan guna menjalankan fungsinya secara lebih baik. Terkait dengan itu, penggerak utama (driving force) dari inovasi dan perubahan tersebut adalah kemauan politik (political will) dari kepala daerah sebagai mesin penggerak sistem kerja birokrasi pemerintahan di daerah untuk melakukan upaya-upaya inovasi dan perubahan secara riil menuju kearah yang lebih baik. Kepala daerah yang memiliki political will akan membuka ruang yang luas dan terbuka bagi dilakukannya inovasi dan perubahan dalam pengelolaan sumber daya pemerintahan dan pembangunan daerah sedemikian rupa untuk menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, transparan dan bertanggungjawab, serta pelayanan masyarakat yang cepat, murah, baik, dan mampu memenuhi kebutuhan riil masyarakat.
Inovasi bagi pemerintah daerah merupakan suatu keharusan guna mengimplementasikan substansi desentralisasi, yaitu mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal serta pengentasan kemiskinan secara berkesinambungan. Kisah menyenangkan dari pelaksanaan otonomi daerah justru diperolah dari penerapan inovasi dan perubahan yang dilakukan pemerintahan daerah. Pengalaman inovasi pemerintahan yang berhasil diantaranya dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh Prefektur Oita di Jepang yang melakukan inovasi program pembangunan daerah pada tahun 1979 melalui gerakan One Village One Product (OVOP). Gerakan OVOP terbukti mampu mengubah Oita yang sebelumnya terbelakang secara ekonomi menjadi sebuah daerah yang sukses secara ekonomi (CCLAD, 2000). Untuk kasus Indonesia, telah banyak daerah yang melakukan inovasi program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya, Kabupaten Jembrana dalam peningkatan pelayanan publik dan perekonomian daerah, Kabupaten Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara, Kabupaten Deliserdang melalui pembentukan LEPP-M3 sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, Kabupaten Gianyar melalui program Gianyar Sejahtera (Tifa, 2004), maupun Kabupaten Sumba Timur melalui pelatihan aparatur pemerintah desa (Apkasi, 2003 dalam Tifa, 2004).
Pengalaman menarik yang dapat dijadikan pelajaran penting untuk dikaji dalam kasus inovasi pemerintahan daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

masyarakat (diantaranya melalui pelayanan) adalah Kabupaten Jembrana. Pemerintah kabupaten Jembrana memiliki pengalaman dalam mendesain dan melaksanakan program inovasi pemerintahan yang terbukti sukses sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya secara signifikan. Hasil studi yang dilakukan PPKSD FISIP UI dan Yayasan TIFA (2004) menemukan bahwa dalam kurun waktu 3-4 tahun, Kabupaten Jembrana dapat mengurangi persentase keluarga miskin sebesar 44% (Tahun 2001 19,4% berkurang menjadi hanya 10,9% pada tahun 2003). Prestasi lainya adalah kematian bayi per seribu lahir hidup pada tahun 2001 sebesar 15,25% berkurang menjadi 8,39% atau berkurang 45 %. Tingkat drop out (DO) siswa Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2001 mencapai 0,08% menjadi 0,02% pada tahun 2003 atau berkurang 75 %.
Hasil kajian di atas mencatat bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan kabupaten Jembrana sukses dalam melakukan inovasi pemerintahan. Pada bidang pendidikan, yang dilakukan oleh pemda Kabupaten Jembrana adalah membebaskan semua SPP bagi seluruh sekolah negeri (SD, SLTP, SMU/SMK) serta pemberian beasiswa bagi siswa sekolah swasta. Sedangkan pada bidang kesehatan, pemda Kabupaten Jembrana mengeluarkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ) dalam bentuk asuransi yang diperoleh bagi setiap warga yang memiliki KTP. Dengan demikian penduduk kabupaten Jembrana bebas biaya obat dan dokter serta bebas biaya rumah sakit bagi warga miskin. Sedangkan pada bidang ekonomi pemda memprogramkan dana talangan untuk menjaga harga hasil panen serta dana bergulir bagi kelompok tani. Padahal APBD Jembrana hanya Rp193,1 miliar pada tahun 2003 dengan PAD hanya Rp9,2 miliar. Bandingkan misalnya dengan Kota Makassar yang mencapai Rp500 miliar ataupun daerah lain yang lebih besar dari itu.
Daerah lain seperti Enrekang juga sudah mulai akan mengimplementasikan program inovasi dalam hal pengentasan kemiskinan dengan merumuskan indikator lokal kemiskinan dan pemasaran hasil pertanian (Corner Makassar dan Yayasan TIFA, 2005). Indikator lokal kemiskinan adalah merupakan upaya pemda dalam menyusun data untuk kepentingan poverty targeting yang tidak bisa didapatkan dengan mengandalkan data yang ada pada BPS dan BKKBN. Dengan adanya indikator lokal ini maka data orang miskin menjadi lebih akurat serta dapat didesain program yang tepat berdasarkan kebutuhan dari masyarakat miskin. Sedangkan program inovasi yang akan diimplentasikan Pemda Enrekang dalam bidang pertanian adalah penangangan secara mapping dalam proses pertanian mulai dari input, permodalan dan output. Pada

permodalan akan dibentuk lembaga penjamin untuk memberikan kemudahan dan dukungan modal bagi petani serta dalam bidang penanganan hasil pertanian adanya badan pemasaran yang dilengkapi dengan terminal agro serta kendaraan angkut yang tentu sangat membantu petani yang tersebar di wilayah Enrekang yang luas dan topografinya didominasi pegunungan.
Kisah menyenangkan mengenai daerah yang bekerja keras untuk kemakmuran rakyatnya mungkin juga banyak ditemukan di daerah-daerah lain. Hanya saja karena keterbatasan informasi maka mungkin keberhasilan-keberhasilan tersebut tidak banyak diketahui publik. Namun yang terpenting adalah bahwa seharusnya daerah berlomba untuk memikirkan dan melaksanakan program inovasi bagi kepentingan kesejahteraan warganya. Program inovasi yang telah diimplementasikan oleh berbagai pemerintah daerah diharapkan dapat menjadi inspirasi, pelajaran atau contoh bagi daerah lain yang belum menerapkannya. Pengalaman dari daerah-daerah yang telah menerapkannya menunjukkan bahwa inovasi merupakan suatu proses yang dimulai dengan keinginan untuk menjadi lebih baik yang kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk mewujudkanya dan membuatnya berjalan dengan baik. Inovasi sangat terkait dengan penemuan di mana secara umum inovasi muncul dari sebuah proses trial and error dan bukan dari sebuah perencanaan yang besar. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam menyusun program inovasi faktor-faktor yang mejadi pertimbangan dasar diantaranya adalah adanya komitmen kepala daerah dan aparat birokrasi, keterlibatan semua stakeholder dalam masyarakat, komitmen untuk melakukan efisiensi di semua sektor dan pemilihan prioritas program yang akan dilakukan disesuaikan dengan kondisi lokal walaupun terdapan pula beberapa hal yang merupakan kondisi umum.
Kisah sukses lainnya di mana pemerintah daerah berhasil dalam mengembangkan pelayanan publik yang lebih baik telah mulai mendapatkan pengakuan, bahkan pada level internasional. Dalam proyek The World Bank’s Making Services Work for the Poor (MSWP) pada tahun 20059, diidentifikasi 9 jenis kasus pelayanan di daerah yang dikategorikan sangat inovatif dan berhasil. Semua kasus ini dinyatakan mempunyai dampak yang sangat positif terhadap perbaikan pelayanan publik, dengan meliputi sedikitnya 500.000 penduduk miskin. Dalam laporannya, pelayanan-pelayanan inovatif terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, tranparansi anggaran serta kinerja pemerintah dan akuntabilitas.
9 Leisher & Nachuk, 2006

Di bidang pendidikan, seperti di. Tanah Datar, di mana dilakukan reformasi di bidang pendidikan dengan pemberian insentif kepada guru. Bentuknya adalah dengan pemberian kesempatan kepada 4 persen dari jumlah guru yang bekerja di daerah serta 10 persen kepala sekolah untuk melakukan kunjungan ke luar negeri dengan tujuan untuk menguasai metodologi pengajaran yang lebih baik. Selain itu jumlah sekolah dan kelas dikurangi secara signifikan untuk mencapai rasio jumlah murid per kelas yang proporsional. Daerah lain yang mencatatkan prestasi di bidang pendidikan adalah Sulawesi Barat melalui proyek pendidikan CLCC (Creating Learning Communities for Children) yang mendorong pengajaran aktif serta metode pembelajaran dan kualitas guru yang lebih memadai. Proyek ini berhasil menciptakan metode pembelajaran yang aktif dengan lebih melibatkan orang tua dan murid. Proyek ini telah mengalami perluasan (scaling-up) mencapai 35% pada sekolah-sekolah negeri.
Di bidang pelayanan kesehatan, selain kasus Jembrana yang telah diungkap sebelumnya, kasus di Pemalang menjadi salah satu best practice, di mana pemerintah daerah menyediakan voucher kepada ibu hamil dari kelompok masyarakat miskin agar mendapatkan pelayanan bersalin. Selama proyek berlangsung, tercatat jumlah pelayanan bersalin meningkat dua kali lipat, dan luas wilayah pelayanan di tingkat desa-desa mencapai 95 persen. Sementara itu, proyek WSLIC-2 (Second Water and Sanitation for Low-Income Communities Project) di Jawa Timur uga mendapat perhatian, karena keberhasilannya dalam meningkatkan akses warga terhadap air bersih 50 persen dari seluruh target. Warga di bangun kesadarannya untuk memiliki perilaku yang sehat dan rasa memiliki terhadap sistem supply air
Dalam hal transparansi anggaran, kasus Bandung adalah contoh yang diangkat dalam laporan ini. Dalam rangka pembangunan transparansi anggaran ini, lembaga swadaya masyarakat BIGS (Bandung Institute of Goverance Studies) memegang peran penting dengan menyebarkan informasi anggaran pemerintah kota melalui penerbitan buku-buku, poster, majalah, dan melatih sekitar 100 orang termasuk wartawan/jurnalis, politisi dan yang lainnya untuk dapat memanfaatkan informasi tersebut, sekaligus membangun kesadaran warga mengenai pentingnya transparansi anggaran. Beberapa kota dan LSM di luar Bandung mulai meniru pola pemberdayaan seperti ini.
Selain itu, salah satu inovasi yang juga banyak dilakukan pemda dalam upaya peningkatan pelayanan adalah dengan menerapkan pelayanan yang berbasis teknologi (internet), yang sering dinamakan dengan e-government. Pelayanan berbasis e‑

government merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis (menggunakan) elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik secara efektif dan efisien. Pelayanan berbasis e-government pada saat ini diperlukan karena pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter dan sentralistik menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis, dan menerapkan perimbangan kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan yang tengah terjadi tersebut menuntut terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif. Sistem manajemen pemerintah yang selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando sektoral yang mengerucut dan panjang, dirubah menjadi sistem manajemen organisasi jaringan yang dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali.
Penerapan e-government dapat menjadi jawaban dari tuntutan masyarakat yang berbeda namun berkaitan erat terhadap Pemerintah daerah, yaitu: Pertama, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah Indonesia, dapat diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif; dan kedua, tuntutan masyarakat agar aspirasi mereka didengar, sehingga pemerintah harus memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan kebijakan publik. Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom. Hal itu dilakukan dengan cara: Pertama, mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi dan birokrasi; dan Kedua, membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi­instansi pemerintah bekerja secara terpadu, untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.
Melalui pengembangan e-government, dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah daerah otonom dengan mengoptimasikan pemanfaatan teknologi informasi. Pemanfaatan teknologi informasi tersebut mencakup dua aktivitas yang saling berkaitan, yaitu: Pertama, pengolahan data, pengelolaan informasi, sistem manajemen dan proses kerja secara elektronis; dan Kedua, pemanfaatan kemajuan teknologi informasi agar pelayanan publik dapat diakses secara mudah dan murah oleh masyarakat di seluruh wilayah negara. Untuk melaksanakan maksud tersebut, pengembangan e-government diarahkan untuk mencapai empat tujuan,

yaitu; Pertama, pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan biaya yang terjangkau oleh masyarakat; Kedua, pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkem-bangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional; Ketiga, pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara dan daerah lain serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara; dan Keempat, pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.
Hingga saat ini telah banyak instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom yang berinisiatif mengembangkan pelayanan publik melalui jaringan komunikasi dan informasi dalam bentuk situs web. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, mayoritas situs web Pemerintah Daerah Otonom masih berada pada tingkat pertama (persiapan) dan hanya sebagian kecil yang telah mencapai tingkat dua (pematangan), sedangkan tingkat tiga (pemantapan) dan empat (pemanfaatan) masih belum tercapai. Untuk itu maka agar pelaksanaan kebijakan pengembangan e-government dapat dilaksanakan secara sistematik dan terpadu, maka penyusunan kebijakan, peraturan dan perundang­undangan, standarisasi, dan panduan yang diperlukan harus konsisten dan saling mendukung. Perumusan yang dibuat perlu mengacu pada kerangka yang utuh, serta diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembentukan pelayanan publik, dan penguatan jaringan pengelolaan dan pengolahan informasi yang handal dan tepercaya.
Referensi:
·                     Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta.
·           Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT. Grasindo. Jakarta
·           Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production: Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The Institute of Development Studies. Brighton.

·         Kiser, Larry L. & Stephen L. Percy. 1980. The Concept of Coproduction and Its Implication for Public Service Delivery. Paper presented at the 1980 Annual Meetings of the American Society for Public Administration, on April 13-16. Indiana University. Bloomington.
·         Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available online at http://www.innovations.harvard.edu/
·         Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. LAN. Jakarta.
·         Marschall, Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context: A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political Research Quarterly. Academic Research Library.
·         McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community Governance. Ashgate. England.
·         Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts.
·         Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing Company. Massachusetts.
·         Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and Development." World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.
·         Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John Hopkins University Press.
·         Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering Public Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo.
·         Zeithaml, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press. New York

Tidak ada komentar:

Posting Komentar